Konsep dasar asuransi syariah adalah tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan (al birri wat taqwa). Konsep tersebut sebagai landasan yang diterapkan dalam setiap perjanjian transaksi bisnis dalam wujud tolong menolong (akad takafuli)
yang menjadikan semua peserta sebagai keluarga besar yang saling
menanggung satu sama lain di dalam menghadapi resiko, yang kita kenal
sebagai sharing of risk, sebagaimana firman Allah SWT yang memerintahkan kepada kita untuk taawun (tolong menolong) yang berbentuk al birri wat taqwa (kebaikan dan ketakwaan) dan melarang taawun dalam bentuk al itsmi wal udwan (dosa dan permusuhan).
Firman Allah dalam surat al-Baqarah 188, 'Dan
janganlah kalian memakan harta di antara kamu sekalian dengan jalan
yang bathil, dan janganlah kalian bawa urusan harta itu kepada hakim
yang dengan maksud kalian hendak memakan sebagian harta orang lain
dengan jalan dosa, padahal kamu tahu." Hadist Nabi Muhammad SAW, "Mukmin terhadap mukmin yang lain seperti suatu bangunan memperkuat satu sama lain," Dan "Orang-orang
mukmin dalam kecintaan dan kasih sayang mereka seperti satu badan.
Apabila satu anggota badan menderita sakit, maka seluruh badan
merasakannya.Dalam asuransi konvensional, asuransi merupakan transfer of risk yaitu pemindahan risiko dari peserta/tertanggung ke perusahaan/penanggung sehingga terjadi pula transfer of fund yaitu pemindahan dana dari tertanggung kepada penanggung. Sebagai konsekwensi maka kepemilikan dana pun berpindah, dana peserta menjadi milik perusahaan ausransi.
Beberapa perbedaan asuransi syariah dengan asuransi konvensional, di antaranya adalah sebagai berikut:
Akad (Perjanjian)
Setiap
perjanjian transaksi bisnis di antara pihak-pihak yang melakukannya
harus jelas secara hukum ataupun non-hukum untuk mempermudah jalannya
kegiatan bisnis tersebut saat ini dan masa mendatang. Akad dalam praktek muamalah
menjadi dasar yang menentukan sah atau tidaknya suatu kegiatan
transaksi secara syariah. Hal tersebut menjadi sangat menentukan di
dalam praktek asuransi syariah. Akad antara perusahaan dengan peserta harus jelas, menggunakan akad jual beli (tadabuli) atau tolong menolong (takaful).
Akad pada asuransi konvensional didasarkan pada akad tadabuli
atau perjanjian jual beli. Syarat sahnya suatu perjanjian jual beli
didasarkan atas adanya penjual, pembeli, harga, dan barang yang
diperjual-belikan. Sementara itu di dalam perjanjian yang diterapkan
dalam asuransi konvensional hanya memenuhi persyaratan adanya penjual,
pembeli dan barang yang diperjual-belikan. Sedangkan untuk harga tidak
dapat dijelaskan secara kuantitas, berapa besar premi yang harus
dibayarkan oleh peserta asuransi utnuk mendapatkan sejumlah uang
pertanggungan. Karena hanya Allah yang tahu kapan kita meninggal.
Perusahaan akan membayarkan uang pertanggunggan sesuai dengan
perjanjian, akan tetapi jumlah premi yang akan disetorkan oleh peserta
tidak jelas tergantung usia. Jika peserta dipanjangkan usia maka
perusahaan akan untung namun apabila peserta baru sekali membayar
ditakdirkan meninggal maka perusahaan akan rugi. Dengan demikian menurut
pandangan syariah terjadi cacat karena ketidakjelasan (gharar) dalam hal berapa besar yang akan dibayarkan oleh pemegang polis (pada produk saving) atau berapa besar yang akan diterima pemegang polis (pada produk non-saving).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, seorang ulama salaf ternama dalam kitabnya "Majmu Fatwa" menyatakan bahwa akad
dalam Islam dibangun atas dasar mewujudkan keadilan dan menjauhkan
penganiayaan. Harta seorang muslim yang lain tidak halal, kecuali
dipindahkan haknya kepada yang disukainya. Keadilan dapat diketahui
dengan akalnya, seperti pembeli wajib menyatakan harganya dan penjual
menyerahkan barang jualannya kepada pembeli. Dilarang menipu,
berkhianat, dan jika berhutang harus dilunasi. Jika kita mengadakan
suatu perjanjian dalam suatu transaksi bisnis secara tidak tunai maka
kita wajib melakukan hal-hal berikut: I% Menuliskan bentuk perjanjian
(seperti adanya SP dan polis). I% Bentuk perjanjian harus jelas
dimengerti oleh pihak-pihak yang bertransaksi (akad tadabuli atau akad takafuli).
I% Adanya saksi dari kedua belah pihak. I% Para saksi harus cakap dan
bersedia secara hukum jika suatu saat diminta kewajibannya. (Penulis
simpulkan dari firman Allah SWT, surat al-Baqarah ayat 282).
Gharar (Ketidakjelasan)
Definisi gharar menurut Madzhab Syafii adalah apa-apa yang akibatnya tersembunyi dalam pandangan kita dan akibat yang paling kita takuti.
Gharar/ketidakjelasan
itu terjadi pada asuransi konvensional, dikarenakan tidak adanya batas
waktu pembayaran premi yang didasarkan atas usia tertanggung, sementara
kita sepakat bahwa usia seseorang berada di tangan Yang Mahakuasa. Jika
baru sekali seorang tertanggung membayar premi ditakdirkan meninggal,
perusahaan akan rugi sementara pihak tertanggung merasa untung secara
materi. Jika tertanggung dipanjangkan usianya, perusahaan akan untung
dan tertanggung merasa rugi secara financial. Dengan kata lain
kedua belah pihak tidak mengetahui seberapa lama masing-masing pihak
menjalankan transaksi tersebut. Ketidakjelasan jangka waktu pembayaran
dan jumlah pembayaran mengakibatkan ketidaklengkapan suatu rukun akad, yang kita kenal sebagai gharar. Para ulama berpendapat bahwa perjanjian jual beli/akad tadabuli tersebut cacat secara hukum.
Pada asuransi syariah akad tadabuli diganti dengan akad takafuli,
yaitu suatu niat tolong-menolong sesama peserta apabila ada yang
ditakdirkan mendapat musibah. Mekanisme ini oleh para ulama dianggap
paling selamat, karena kita menghindari larangan Allah dalam praktik muamalah yang gharar.
Pada akad asuransi konvensional dana peserta menjadi milik perusahaan asuransi (transfer of fund). Sedangkan dalam asuransi syariah, dana yang terkumpul adalah milik peserta (shahibul mal) dan perusahaan asuransi syariah (mudharib) tidak bisa mengklaim menjadi milik perusahaan.
Tabarru dan Tabungan
Tabarru berasal dari kata tabarraa-yatabarra-tabarrawan, yang artinya sumbangan atau derma. Orang yang menyumbang disebut mutabarri (dermawan). Niat bertabbaru
bermaksud memberikan dana kebajikan secara ikhlas untuk tujuan saling
membantu satu sama lain sesama peserta asuransi syariah, ketika di
antaranya ada yang mendapat musibah. Oleh karena itu dana tabarru disimpan dalam rekening khusus. Apabila ada yang tertimpa musibah, dana klaim yang diberikan adalah dari rekening tabarru yang sudah diniatkan oleh sesama peserta untuk saling menolong.
Menyisihkan
harta untuk tujuan membantu orang yang terkena musibah sangat
dianjurkan dalam agama Islam, dan akan mendapat balasan yang sangat
besar di hadapan Allah, sebagaimana digambarkan dalam hadist Nabi SAW,"Barang siapa memenuhi hajat saudaranya maka Allah akan memenuhi hajatnya."(HR Bukhari Muslim dan Abu Daud).
Untuk produk asuransi jiwa syariah yang mengandung unsur saving maka dana yang dititipkan oleh peserta (premi) selain terdiri dari unsur dana tabarru
terdapat pula unsur dana tabungan yang digunakan sebagai dana investasi
oleh perusahaan. Sementara investasi pada asuransi kerugian syariah
menggunakan dana tabarru karena tidak ada unsur saving. Hasil dari investasi akan dibagikan kepada peserta sesuai dengan akad awal. Jika peserta mengundurkan diri maka dana tabungan beserta hasilnya akan dikembalikan kepada peserta secara penuh.
Maisir (Judi)
Allah SWT berfirman dalam surat al-Maidah ayat 90,"Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya khamar, maisir,
berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji, termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapatkan keberuntungan."
Prof. Mustafa Ahmad Zarqa berkata bahwa dalam asuransi konvensional terdapat unsur gharar yang pada gilirannya menimbulkan qimar. Sedangkan al qimar sama dengan al maisir. Muhammad Fadli Yusuf menjelaskan unsur maisir dalam asuransi konvensional karena adanya unsur gharar,
terutama dalam kasus asuransi jiwa. Apabila pemegang polis asuransi
jiwa meninggal dunia sebelum periode akhir polis asuransinya dan telah
membayar preminya sebagian, maka ahliwaris akan menerima sejumlah uang
tertentu. Pemegang polistidak mengetahui dari mana dan bagaimana cara
perusahaan asuransi konvensional membayarkan uang pertanggungannya. Hal
ini dipandang karena keuntungan yang diperoleh berasal dari keberanian
mengambil risiko oleh perusahaan yang bersangkutan. Muhammad Fadli Yusuf
mengatakan, tetapi apabila pemegang polis mengambil asuransi itu tidak
dapat disebut judi. Yang boleh disebut judi jika perusahaan asuransi
mengandalkan banyak/sedikitnya klaim yang dibayar. Sebab keuntungan
perusahaan asuransi sangat dipengaruhi oleh banyak /sedikitnya klaim
yang dibayarkannya.
Riba
Dalam hal riba, semua asuransi konvensional menginvestasikan dananya dengan bunga, yang berarti selalu melibatkan diri dalam riba.
Hal demikian juga dilakukan saat perhitungan kepada peserta, dilakukan
dengan menghitung keuntungan di depan. Investasi asuransi konvensional
mengacu pada peraturan pemerintah yaitu investasi wajib dilakukan pada
jenis investasi yang aman dan menguntungkan serta memiliki likuiditas
yang sesuai dengan kewajiban yang harus dipenuhi. Begitu pula dengan
Keputusan Menteri Keuangan No. 424/KMK.6/2003 Tentang Kesehatan Keuangan
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Semua jenis investasi
yang diatur dalam peraturan pemerintah dan KMK dilakukan berdasarkan
sistem bunga.
Asuransi syariah menyimpan dananya di bnak yang berdasarkan syariat Islam dengan sistem mudharabah.
Untuk berbagai bentuk investasi lainnya didasarkan atas petunjuk Dewan
Pengawas Syariah. Allah SWT berfirman dalam surat Ali Imron ayat 130,"Hai
orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan riba yang memang riba
itu bersifat berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu
mendapatkan keberuntungan." Hadist, "Rasulullah mengutuk pemakaian riba, pemberi makan riba, penulisnya dan saksinya seraya bersabda kepada mereka semua sama."(HR Muslim)
Dana Hangus
Ketidakadilan
yang terjadi pada asuransi konvensional ketika seorang peserta karena
suatu sebab tertentu terpaksa mengundurkan diri sebelum masa reversing period.
Sementara ia telah beberapa kali membayar premi atau telah membayar
sejumlah uang premi. Karena kondisi tersebut maka dana yang telah
dibayarkan tersebut menjadi hangus. Demikian juga pada asuransi non-saving
atau asuransi kerugian jika habis masa kontrak dan tidak terjadi klaim,
maka premi yang dibayarkan akan hangus dan menjadi milik perusahaan.
Kebijakan
dana hangus yang diterapkan oleh asuransi konvensional akan menimbulkan
ketidakadilan dan merugikan peserta asuransi terutama bagi mereka yang
tidak mampu melanjutkan karena suatu hal. Di satu sisi peserta tidak
punya dana untuk melanjutkan, sedangkan jika ia tidak melanjutkan dana
yang sudah masuk akan hangus. Kondisi ini mengakibatkan posisi yang
dizalimi. Prinsip muamalah melarang kita saling menzalimi, laa dharaa wala dhirara ( tidak ada yang merugikan dan dirugikan).
Asuransi
syariah dalam mekanismenya tidak mengenal dana hangus, karena nilai
tunai telah diberlakukan sejak awal peserta masuk asuransi. Bagi peserta
yang baru masuk karena satu dan lain hal mengundurkan diri maka
dana/premi yang sebelumnya dimasukkan dapat diambil kembali kecuali
sebagian kecil dana yang dniatkan sebagai dana tabarru (dana
kebajikan). Hal yang sama berlaku pula pada asuransi kerugian. Jika
selama dan selesai masa kontrak tidak terjadi klaim, maka asuransi
syariah akan membagikan sebagian dana/premi tersebut dengan pola bagi
hasil 60:40 atau 70:30 sesuai kesepakatan si awal perjanjian (akad).
Jadi premi yang dibayarkan pada awal tahun masih dapat dikembalikan
sebagian ke peserta (tidak hangus). Jumlahnya sangat tergantung dari
hasil investasinya.
Konsep Taawun Dalam Asuransi Syariah
Sebagian para ahli syariah meyamakan sistem asuransi syariah dengan sistem aqilah pada zaman Rasulullah SAW. Dr. Satria Effendi M.Zein dalam makalahnya mendefinisikan takaful dengan at takmin, at taawun atau at takaful
(asuransi bersifat tolong menolong), yang dikelola oleh suatu badan,
dan terjadi kesepakatan dari anggota untuk bersama -sama memikul suatu
kerugian atau penderitaan yang mungkin terjadi pada anggotanya. Untuk
kepentingan itu masing-masing anggota membayar iuran berkala (premi).
Dana yang terkumpul akan terus dikembangkan, sehingga hasilnya dapat
dipergunakan untuk kepentingan di atas, bukan untuk kepentingan badan
pengelola (asuransi syariah). Dengan demikian badan tersebut tidak
dengan sengaja mengeruk keuntungan untuk dirinya sendiri. Disini sifat
yang paling menonjol adalah tolong-menolong seperti yang diajarkan
Islam.
Dewan Pengawas Syariah
Pada
asuransi syariah seluruh aktivitas kegiatannya diawasi oleh Dewan
Pengawas Syariah (DPS) yang merupakan bagian dari Dewan Syariah Nasional
(DSN), baik dari segi operational perusahaan, investasi maupun SDM.
Kedudukan DPS dalam Struktur oraganisasi perusahaan setara dengan dewan
komisaris.
Itulah beberapa hal yang membedakan
asuransi syariah dengan asuransi konvensional. Apabila dilihat dari sisi
perbedaannya, baik dari sisi ekonomi, kemanuasiaan atau syariahnya,
maka sistem asuransi syariah adalah yang terbaik dari seluruh sistem
asuransi yang ada.
Sumber: Proteksi, No.184/Mei 2006/Tahun XXVII
Tidak ada komentar:
Posting Komentar